BAB I
PENDAHULUAN
A. Keadaan Penganggur dan Setengah Pengangguran.
Pengangguran terjadi disebabkan antara lain, yaitu karena jumlah lapangan kerja yang tersedia lebih kecil dari jumlah pencari kerja. Juga kompetensi pencari kerja tidak sesuai dengan pasar kerja. Selain itu juga kurang efektifnya informasi pasar kerja bagi para pencari kerja.
Fenomena pengangguran juga berkaitan erat dengan terjadinya pemutusan hubungan kerja, yang disebabkan antara lain; perusahaan yang menutup/mengurangi bidang usahanya akibat krisis ekonomi atau keamanan yang kurang kondusif; peraturan yang menghambat inventasi; hambatan dalam proses ekspor impor, dan lain-lain.
Menurut data BPS angka pengangguran pada tahun 2002, sebesar 9,13 juta penganggur terbuka, sekitar 450 ribu diantaranya adalah yang berpendidikan tinggi. Bila dilihat dari usia penganggur sebagian besar (5.78 juta) adalah pada usia muda (15-24 tahun). Selain itu terdapat sebanyak 2,7 juta penganggur merasa tidak mungkin mendapat pekerjaan (hopeless). Situasi seperti ini akan sangat berbahaya dan mengancam stabilitas nasional.
Masalah lainnya adalah jumlah setengah penganggur yaitu yang bekerja kurang dari jam kerja normal 35 jam per minggu, pada tahun 2002 berjumlah 28,87 juta orang. Sebagian dari mereka ini adalah yang bekerja pada jabatan yang lebih rendah dari tingkat pendidikan, upah rendah, yang mengakibatkan produktivitas rendah. Dengan demikian masalah pengangguran terbuka dan setengah penganggur berjumlah 38 juta orang yang harus segera dituntaskan.
B. Keadaan Angkatan Kerja dan Keadaan Kesempatan Kerja.
Masalah pengangguran dan setengah pengangguran tersebut di atas salah satunya dipengaruhi oleh besarnya angkatan kerja. Angkatan kerja di Indonesia pada tahun 2002 sebesar 100,8 juta orang. Mereka ini didominasi oleh angkatan kerja usia sekolah (15-24 tahun) sebanyak 20,7 juta. Pada sisi lain, 45,33 juta orang hanya berpendidikan SD kebawah, ini berarti bahwa angkatan kerja di Indonesia kualitasnya masih rendah.
Keadaan lain yang juga mempengaruhi pengangguran dan setengah pengangguran tersebut adalah keadaan kesempatan kerja. Pada tahun 2002, jumlah orang yang bekerja adalah sebesar 91,6 juta orang. Sekitar 44,33 persen kesempatan kerja ini berada disektor pertanian, yang hingga saat ini tingkat produktivitasnya masih tergolong rendah. Selanjutnya 63,79 juta dari kesempatan kerja yang tersedia tersebut berstatus informal.
Ciri lain dari kesempatan kerja Indonesia adalah dominannya lulusan pendidikan SLTP ke bawah. Ini menunjukkan bahwa kesempatan kerja yang tersedia adalah bagi golongan berpendidikan rendah.
Seluruh gambaran di atas menunjukkan bahwa kesempatan kerja di Indonesia mempunyai persyaratan kerja yang rendah dan memberikan imbalan yang kurang layak. Implikasinya adalah produktivitas tenaga kerja rendah.
Sasaran
Sasaran yang diharapkan, dirumuskan sebagai berikut :
Menurunnya jumlah penganggur terbuka dari 0,96 pesen menjadi 5,5 persen pada tahun 2009.
Menurunnya jumlah setengah penganggur dari 28,65 persen menjadi 20 persen dari jumlah yang bekerja pada tahun 2009.
Meningkatnya jumlah tenaga kerja formal dari 36,71 persen menjadi 60 persen dari jumlah yang bekerja pada tahun 2009.
Menurunnya jumlah angkatan kerja usia sekolah dari 20,54 persen menjadi 15 persen pada tahun 2009.
Tingkatkan perluasan lapangan kerja dari 91,65 juta orang menjadi 108,97 juta orang. Terbangunnya jejaring antara pusat dengan seluruh Kabupaten/kota.
Untuk mencapai hal tersebut disusun strategi, kebijakan dan program-program yang perlu terus dibahas untuk menjadi kesepakatan semua pihak, meliputi Pengendalian Jumlah Angkatan kerja peningkatan Kualitas angkatan Kerja; peningkatan Efektivitas Informasi Pasar Kerja dan Bursa Kerja; pembinaan Hubungan Industrial. (Sumber: Deklarasi Penanggulangan Pengangguran di Indonesia, 29 Juni 2004; Bahan Raker Komisi VII DPR-RI dan Menakertrans, 11 Pebruari 2004). Sumber : Majalah Nakertrans Edisi - 03 TH.XXIV-Juni 2004
C. Pengangguran Tenaga Kerja Terdidik
Selain masalah upah, persoalan mendasar ketenagakerjaan di Indonesia saat ini menyangkut tingkat pengangguran. Ini disebabkan pertambahan angkatan kerja baru jauh lebih besar dibanding pertumbuhan lapangan kerja produktif yang dapat diciptakan setiap tahun. Pasca krisis moneter, gap tersebut semakin membengkak tajam.
Pada tahun 1998 tingkat pengangguran mencapai 5,7 persen. Angka ini sebenarnya masih di sekitar tingkat pengangguran natural (Natural Rate of Unemployment), suatu tingkat yang secara alamiah mustahil dihindarkan. Ini mencakup pengangguran yang muncul karena peralihan antar kerja oleh tenaga kerja. Dengan jumlah angkatan kerja 92,7 juta, pengangguran 5,7 persen berarti terdapat 4,5 juta orang penganggur.
Sebenarnya tingkat pengangguran ini relatif kecil dibanding tingkat pengangguran di beberapa negara industri maju di Eropa di tahun 90-an yang bahkan mencapai dua digit. Namun tingkat pengangguran 5,7 persen tersebut sebenarnya adalah angka pengangguran terbuka (open unemployment), yakni penduduk angkatan kerja yang benar-benar menganggur. Di luar pengertian tersebut, terdapat sejumlah besar penganggur yang dalam konsep ekonomi termasuk dalam kualifikasi pengangguran terselubung (disguised unemployment), yakni tenaga kerja yang tidak bekerja secara optimal karena tidak memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan bidangnya disebabkan lemahnya permintaan tenaga kerja. Konsep lainnya adalah under employment, yakni tenaga kerja yang jumlah jam kerjanya tidak optimal karena ketiadaan kesempatan untuk bekerja.
Berdasarkan data BPS (Biro Pusat Statistik) sampai Mei 1997, sekitar 45 persen tenaga kerja bekerja di bawah 35 jam per minggu atau setara dengan 25 persen pengangguran penuh. Jika ditambah angka pengangguran terbuka 2.67 persen dan pengaruh krisis ekonomi yang berkepanjangan, total pengangguran nyata bisa mencapai 35-40 persen. Suatu tingkat yang sangat serius dan membahayakan dalam pembangunan nasional.
Di samping masalah tingginya angka pengangguran, yang termasuk juga rawan adalah pengangguran tenaga terdidik, yaitu angkatan kerja berpendidikan menengah ke atas dan tidak bekerja. Fenomena ini patut diantisipasi sebab cakupannya berdimensi luas, khususnya dalam kaitannya dengan strategi serta kebijakan perekonomian dan pendidikan nasional.
Pola Pengangguran
Dari tabel di bawah mengungkapkan beberapa hal menarik. Pertama, pada 1998, hampir separuh (49 persen) penganggur ternyata berpendidikan menengah atas (SMTA Umum dan Kejuruan). Kedua, periode 1982-1998, terjadi peningkatan pengangguran berpendidikan menengah ke atas (SMTA, Akademi dan Sarjana) secara signifikan dari 26 persen menjadi 57 persen, atau meningkat hampir 120 persen. Ketiga, laju peningkatan pengangguran di sekolah menengah kejuruan lebih rendah daripada sekolah menengah umum, baik pada menengah pertama maupun pada menengah atas. Keempat, persentase peningkatan tingkat pengangguran berpendidikan sarjana adalah paling tinggi, yang melonjak dari 0,57 persen pada 1982 menjadi 5,02 persen pada 1998.
Tabel
Struktur Pengangguran Menurut Tingkat Pendidikan (%)
Pendidikan 1982 1995 1998
SD ke bawah 61.74 40.68 23.09
SLTP 11.79 16.33 19.44
SLTA Umum 12.30 24.90 32.13
SLTA Kejuruan 12.69 11.61 16.86
Diploma 0.91 2.61 3.47
- Diploma I 0.74 0.94
- Diploma II 1.87 2.53
Universitas 0.57 3.86 5.02
Sumber: Statistik Tahunan Indonesia, 1985, 1995, 1998
Beberapa Sebab
Secara kualitatif, kualitas tenaga kerja nasional meningkat disebabkan dua hal. Pertama, pembangunan ekonomi pada tingkat tertentu berhasil meningkatkan pendapatan masyarakat sehingga masyarakat lebih mampu membiayai pendidikan formal dan mengakomodasi makanan bergizi yang membantu kualitas tenaga kerja. Kedua, berbagai kebijakan di bidang pendidikan nasional membawa peningkatan pada kualitas pendidikan formal angkatan kerja. Akan tetapi, pada saat angkatan kerja terdidik meningkat dengan pesat, lapangan kerja masih didominasi sektor-sektor subsistensi yang tidak membutuhkan tenaga kerja berpendidikan.
Ini menimbulkan gejala supply induce di mana tenaga kerja terdidik yang jumlahnya cukup besar memberi tekanan kuat terhadap kesempatan kerja di sektor formal yang jumlahnya relatif kecil, sehingga terjadi pendayagunaan tenaga kerja terdidik yang tidak optimal.
Secara makro ini juga disebabkan transformasi struktur ekonomi dari sektor primer (pertanian) ke sektor sekunder dan tersier (industri dan jasa) tidak diikuti transformasi penyerapan tenaga kerja. Periode 1980-98, penyerapan tenaga kerja sektor primer turun 9 persen menjadi 47 persen, sementara sektor sekunder dan tersier hanya meningkat 3 persen dari 23 persen. Di lain pihak kontribusi sektor primer terhadap PDB turun sebesar 9 persen menjadi 15 persen sementara sektor sekunder dan tersier meningkat sekitar 14 persen menjadi 27 persen.
Tampaknya gejala tersebut diakibatkan pola perkembangan industri saat ini yang kurang berbasis pada permasalahan nasional yang sifatnya seolah labor surplus padahal karena permintaan yang kecil. Dengan demikian, di samping membangun industri skala besar yang sifatnya padat modal dan teknologi, perhatian juga sudah seharusnya diberikan pada pengembangan industri yang lebih berorientasi pada penyerapan tenaga kerja terdidik yang tidak hanya jumlahnya besar tetapi juga tumbuh dengan sangat cepat.
Perlu juga penanganan serius terhadap tingginya persentase lulusan SMTA Umum yang menganggur (lebih tinggi daripada SMTA Kejuruan). Hal ini karena pada dasarnya SMTA Umum dipersiapkan untuk memasuki perguruan tinggi, pada hal untuk masuk ke dunia perguruan tinggi, selain tempat terbatas, mahalnya biaya juga menjadi kendala utama.
Berbagai perubahan menyangkut penjurusan di tingkat menengah atas tampaknya tidak akan mampu menjawab permasalahan kualitas angkatan kerja golongan pendidikan ini. Seharusnya, kurikulum SMTA Umum sekarang mendapat proporsi keterampilan praktis sehingga bilamana lulusan SMTA tidak mampu melanjutkan ke perguruan tinggi, paling tidak sudah memiliki bekal keterampilan yang dibutuhkan untuk masuk dunia kerja. Apa yang terjadi sekarang adalah, mayoritas angkatan kerja berpendidikan SMTA Umum bekerja di sektor perdagangan dan sektor informal yang produktivitasnya relatif rendah.
Selain itu, di tengah membengkaknya jumlah penganggur, ternyata lowongan kerja yang belum terisi cenderung meningkat serta porsinya terhadap lowongan kerja relatif besar. Menurut data Sub Direktorat Informasi Pasar Kerja, Depnaker April 1998, dari 254.032 lowongan kerja terdaftar, terdapat 15 persen lowongan kerja yang tidak dapat terisi. Sekitar 50 persen di antaranya adalah angkatan kerja berpendidikan sarjana dan sarjana muda, sedangkan paling rendah lulusan SD dan diploma satu (D1) sekitar 10 persen.
Tingginya proporsi lowongan kerja untuk sarjana dan sarjana muda yang belum terisi menunjukkan adanya kesenjangan antara kualitas penawaran tenaga kerja (dunia perguruan tinggi) dengan kualitas permintaan tenaga kerja (dunia usaha). Kesenjangan ini memang sudah sering diangkat ke permukaan sampai lahirnya konsep link and match.
Masalahnya, sejauh mana konsep tersebut tertuang dalam kerangka yang lebih operasional. Secara fungsional, beberapa perguruan tinggi swasta (PTS) sudah menerapkan hal ini di mana banyak praktisi bisnis menjadi dosen-dosen PTS, yang secara perlahan membawa perubahan pada kurikulum. Akan tetapi, bila tidak diimbangi dengan penjembatanan secara struktural, misalnya dengan berbagai proyek kerjasama penelitian antara dunia usaha dengan perguruan tinggi yang melibatkan mahasiswa, dosen, peneliti dan praktisi niscaya sulit untuk mempersempit gap tersebut.
Permagangan mungkin salah satu alternatif solusi praktis dan tepat. Hal ini didasarkan bahwa dunia usaha terkesan tertutup terhadap mahasiswa yang datang untuk melakukan kegiatan penelitian (riset) sehingga menguatkan adanya kesenjangan tersebut. Tapi ini juga belum ditangani secara serius dan terpadu.
BAB II
M A S A L A H
A. Tiap Tahun, Angka Pengangguran Indonesia Naik
Sejak 1997 sampai 2003, angka pengangguran terbuka di Indonesia terus menaik, dari 4,18 juta menjadi 11,35 juta. Didominasi oleh penganggur usia muda. Selain usia muda, pengangguran juga banyak mencakup berpendidikan rendah, tinggal di pulau Jawa dan berlokasi di daerah perkotaan. Intensitas permasalahan juga lebih banyak terjadi pada penganggur wanita dan pengaggur terdidik.
Pengangguran dan setengah pengangguran merupakan permasalahan di muara yang tidak bisa diselesaikan pada titik itu saja, tapi juga harus ditangani dari hulu. Sektor di hulu yang banyak berdampak pada pengangguran dan setengah pengangguran adalah sektor kependudukan, pendidikan dan ekonomi.
Ada tiga asumsi yang menjadi harapan untuk menurunkan pengangguran dan setengah pengangguran. Pertama, pertumbuhan tenaga kerja rata-rata pertahun dapat ditekan dari 2,0 persen pada periode 2000-2005 menjadi 1,7 persen pada periode 2005-2009. Demikian juga pertumbuhan angkatan kerja, dapat ditekan menjadi 1,9 persen pada periode 2005-2009 dari periode sebelumnya yang mencapai 2,4 persen. Kedua, dapat ditingkatkannya pertumbuhan ekonomi menjadi 6,0 persen pada periode 2005-2009 dari periode sebelumnya yang hanya mencapai 4,1 persen. Ketiga, transformasi sektor informal ke sektor formal dapat dipercepat baik di daerah perkotaan maupun pedesaan terutama di sektor pertanian, perdagangan, jasa dan industri.
B. Masalah Buruh-Pengusaha Belum Terpecahkan, Pengangguran Terus Bertambah
Kolapsnya perekonomian Indonesia sejak krisis pada pertengahan 1997 membuat kondisi ketenagakerjaan Indonesia ikut memburuk. Sejak itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga tidak pernah mencapai 7-8 persen. Padahal, masalah pengangguran erat kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi. Jika pertumbuhan ekonomi ada, otomatis penyerapan tenaga kerja juga ada. Setiap pertumbuhan ekonomi satu persen, tenaga kerja yang terserap bisa mencapai 400 ribu orang. Jika pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 3-4 persen, tentunya hanya akan menyerap 1,6 juta tenaga kerja, sementara pencari kerja mencapai rata-rata 2,5 juta pertahun. Sehingga, setiap tahun pasti ada sisa.
Bayangkan, pada 1997, jumlah penganggur terbuka mencapai 4,18 juta. Selanjutnya, pada 1999 (6,03 juta), 2000 (5,81 juta), 2001 (8,005 juta), 2002 (9,13 juta) dan 2003 (11,35 juta). Sementara itu, data pekerja dan pengangguran menunjukkan, pada 2001: usia kerja (144,033 juta), angkatan kerja (98,812 juta), penduduk yang kerja (90,807 juta), penganggur terbuka (8,005 juta), setengah penganggur terpaksa (6,010 juta), setengah penganggur sukarela (24,422 juta); pada 2002: usia kerja (148,730 juta), angkatan kerja (100,779 juta), penduduk yang kerja (91,647 juta), penganggur terbuka (9,132 juta), setengah penganggur terpaksa (28,869 juta), setengah penganggur sukarela .
Sebenarnya, untuk menurunkan pengangguran dan setengah pengangguran bisa saja dicapai lewa tiga asumsi dasar, yaitu pertama, pertumbuhan tenaga kerja rata-rata pertahun ditekan dari 2,0 persen pada periode 2000-2005 menjadi 1,7 persen pada periode 2005-2009. Demikian juga pertumbuhan angkatan kerja, ditekan menjadi 1,9 persen pada periode 2005-2009 dari periode sebelumnya yang mencapai 2,4 persen. Kedua, pertumbuhan ekonomi ditingkatkan menjadi 6,0 persen pada periode 2005-2009 dari periode sebelumnya yang hanya mencapai 4,1 persen. Ketiga, mempercepat transformasi sektor informal ke sektor formal, baik di daerah perkotaan maupun pedesaan, terutama di sektor pertanian, perdagangan, jasa dan industri.
Tapi pemecahan persoalan tidak semudah itu. Bicara soal ketenagakerjaan tidak akan lepas dari persoalan buruh dan pengusaha yang tiap hari kian mencuat ke permukaan. Sejak 2000, persoalan terus datang, hingga “terpaksa” harus melahirkan paket Undang Undang Serikat Pekerja, Ketenagakerjaan dan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI). Selesaikan masalah? Tunggu dulu, lihatlah data berikut:
Perselisihan Hubungan Industrial (PHI)
2001: Perkara yg Masuk (81), Jumlah Putusan (80), Sisa*) Perkara (73) *) Akumulasi dengan Sisa perkara Bulan Sebelumnya
2002: Perkara masuk (101), Jumlah putusan (91), sisa perkara (189)
Keterangan: Data Perselisihan dari P4P tidak dibuat angka komulatif
2003: Perkara masuk (95), jumlah putusan (95), Sisa perkara (321)
Keterangan: Data Perselisihan dari P4P tidak dibuat angka komulatif
Sumber: Depnakertrans, Ditjen Binawas
Jumlah Perkara dan Tenaga Kerja yang Terkena PHK
2002: Kasus PHK (2.445), Tenaga Kerja PHK (114.933), kasus PHI (101)
2003: Kasus PHK (12.175), tenaga kerja PHK (110.145), kasus PHI (95)
Sumber: Depnakertrans, Ditjen Binawas
Pemogokan
2001: Kasus Pemogokan (174), tenaga kerja yang terlibat (109.845)
2002: Kasus pemogokan (220), tenaga kerja yang terlibat (769.142)
2003: Kasus pemogokan (146), tenaga kerja yang terlibat (61.790)
Sumber: Depnakertrans, Ditjen Binawas
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
2001: Perkara yang masuk (2.160), jumlah putusan (1.906), sisa perkara (2.632)
*) Akumulasi dengan Sisa perkara Bulan Sebelumnya
2002: Perkara yang masuk (2.445), jumlah putusan (1.980), sisa perkara (4.415)
Keterangan: Data PHK dari P4P tidak dibuat angka komulatif
2003: Perkara yang masuk (2.175), jumlah putusan (2.098), sisa perkara (6.393)
Keterangan: Data PHK dari P4P tidak dibuat angka komulatif
Sumber: Depnakertrans, Ditjen Binawas
Jumlah Tenaga Kerja yang Terkena PHK
2002: Perkara yang masuk (114.933), jumlah putusan (98.565), sisa perkara (205.867) Keterangan: Jumlah TK dari P4P tidak dibuat angka komulatif
2003: Perkara yang masuk (110.145), jumlah putusan (117.357), sisa perkara (223.413) Keterangan: Jumlah TK dari P4P tidak dibuat angka komulatif
Sumber: Depnakertrans, Ditjen Binawas
Berdasarkan data di atas, jelas masalah buruh dan pengusaha seakan juga menjadi bom waktu yang tiap saat bisa meledak dan menghancurkan kerangka ketenagakerjaan Indonesia. Fakta hubungan buruh dan pengusaha tidak bisa serta merta terselesaikan dengan hadirnya UU Ketenagakerjaan dan PPHI. uruh itu hanya concern pada dua hal: PHK dan penyelesaian perselisihan,. Tentunya, tidak perlu harus mengeluarkan UU baru yang ternyata menguntungkan pasar bebas.
Ditambah lagi, adanya pernyataan beberapa ekonom yang mengatakan, kenaikan upah minimum akan menyumbang pengangguran sebesar satu persen, jelas menguntungkan pasar bebas itu. Jumlah buruh di 2665 perusahaan tekstil dan produksi tekstil serta terkait dengan industri tesktil dan produksi tekstil saja mencapai 4,7 juta. Belum di industri lainnya. Pertanyaannya, apakah hak upah minimum itu berkorelasi dengan pengangguran? Soal pengangguran itu jelas terkait dengan krisis ekonomi yang tidak bisa diselesaikan pemerintah. 62,5 persen pangsa pasar tenaga kerja itu ada di desa. Tidak ada korelasi, dan upah minimum bukan penyebab utama pengangguran itu.
Tuntutan kesejahteraan buruh itu, adalah hak buruh yang bisa dipahami, memang harus ada berbagai jaminan. Tapi yang bisa di berikan saat ini adalah yang sesuai dengan dukungan ekonomi kita, itu dulu deh. Tanpa ada kemampuan yang didukung ekonomi nasional, jelas makin hari makin terjadi PHK, industri tidak bersaing sehingga terjadi deindustrialisasi dan jadilah pedagang. Tidak heran saat ini, banyak industri berubah jadi trading, impor. Bagi pengusaha, itu tidak ada masalah. Tapi siapa yang akan memberikan pekerjaan?
Soal ketenagakerjaan memang menjadi hal pokok dalam menggerakkan iklim investasi. Karena investor akan melihat, normatif ketenagakerjaan Indonesia bagaimana, upah minimumnya, compete tidak? Jika upah buruh naik, produktifitas tidak naik, itu namanya tidak baik dan mampu berkompetisi. UU yang baru ini jelas memberatkan pengusaha. Investasi akan semakin tidak mampu masuk, sehingga terjadi pengangguran yang tentunya, kesejahteraan buruhpun jadi terhambat.
Soal paketan UU Ketenagakerjaan boleh jadi harus menjadi perhatian serius. Karena berdasarkan riset ILO (International Labour Organization) 2-3 tahun terakhir, lebih dari 60 persen angkatan kerja Indonesia ada di sektor informal. Sisanya, ada di sektor formal, bekerja di perusahaan, pegawai negeri dan lainnya yang memang mempunyai jaminan perlindungan, seperti tiap bulan mendapatkan gaji tetap, ada jaminan kesehatan dan lainnya. Informal yang jumlahnya jelas lebih banyak ini, tentunya tidak mempunyai jaminan sama sekali: satu perbandingan yang tidak sehat. Celakanya, UU Ketenagakerjaan justru membuat pengusaha menutup perusahaannya yang kemudian menurunkan kesempatan meningkatkan penciptaan lapangan pekerjaan. Kemungkinan, tutupnya perusahan elektronik SONY dan DOSON yang memproduksi sepatu Reebok, akan diikuti juga perusahaan lainnya. Di sisi lain, kompetisi usaha Indonesiapun semakin menurun. Jelas, Cina dan Thailand bukanlah kompetitor lagi. Bahkan, kemungkinan kita akan dikejar oleh Vietnam, Laos dan Kamboja.
Soal buruh dan pengusaha, sebenarnya banyak yang bisa dilakukan pemerintah, bukan sekadar mendapatkan win-win solution, tapi juga memperhatikan kepentingan publik. Satu contoh yang mungkin pengusaha dan buruh lainnya juga sepakat, penggunaan keuntungan jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek) untuk kepentingan buruh dan pengusaha. Janganlah pemerintah mengambil deviden dari Jamsostek, tapi kembalikan ke buruh. Komponen pengeluaran besar buruh adalah penginapan dan transportasi. Dana Jamsostek yang surplus sekitar satu triliun rupiah itukan bisa dikembalikan ke buruh dengan membangun perumahan buruh yang tersebar di sekitar sentra industri. Artinya, buruh bisa save biaya transportasi dan memberikan hidup yang lebih layak.
Bahkan, buruh sebenarnya mau berkompromi untuk menunda pemenuhan hak yang mereka tuntut. Tidak apa-apa upah tidak dinaikkan untuk sementara. Tapi pemerintah jangan menaikkan harga barang, listrik dan layanan publik lainnya dong. Dana Jamsostek itu juga seharusnya bisa dijadikan solusi dalam hal kesejahteraan buruh.
Fakta tetap mengatakan, jumlah pengangguran terus bertambah. Jelas, mau tidak mau, semua mata serasa tertuju ke Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) sebagai operator (pemerintah) penyelesaian soal ketenagakerjaan ini. Untuk menanggulangi masalah penganggur dan setengah penganggur, efek netto dari hasil pembangunan yang diperkirakan akan semakin baik di masa mendatang perlu didistribusikan kembali kepada masyarakat dalam berbagai bentuk, antara lain terciptanya kesempatan kerja produktif dan remunerative. Dengan cara ini, redistribusi pendapatan dalam bentuk seperti pengalihan subsidi BBM tidak perlu lagi dilakukan, atau hanya bersifat supplemen bilamana keadaan terlalu memaksa.
Kebijakan itu perlu ditempuh untuk menghindari dampak negatif yang lebih besar dari sekadar dampak negatif, seperti yang kita alami sekarang ini. Ketidak-stabilan peta politik dan keamanan, kemungkinan besar akan semakin parah dan mengganggu sendi-sendi pembangunan lainnya. Bila hal ini benar-benar terjadi, Indonesia akan berada pada bibir jurang kehancuran yang sulit dihindarkan. Untuk itu seluruh komponen bangsa, termasuk instansi-instansi pemerintah yang berkaitan dengan pengentasan kemiskinan dan ketenaga-kerjaan untuk harus segera mengkonsolidasikan diri, bersama-sama mengatasi masalah ini. Konsolidasi ini, mencakup berbagai aspek penting, antara lain: identifikasi dan pemilihan program, pembiayaan, koordinasi pelaksanaan, pengawasan dan lain-lain. Tanpa harus mengabaikan core-programe masing-masing instansi atau pihak terkait, aspek penanggulangan pengangguran harus dijadikan sebagai titik perhatian. Depnaker tidak mampu mengatasi pengangguran. Yang mampu mengatasinya adalah semua sektor, pemerintah dan masyarakat sendiri, harus bersama-sama.
Selama ini Depnakertranas sudah menyebarkan informasi dan mendorong ke arah wira-usaha. Umumnya negara berkembang, 54-60 persen sektor informal mampu menampung pencari kerja, sebagai usaha mandiri, kecil-menengah. Yang di dorong itu pencari kerjanya, baik lewat tenaga kerja pemuda mandiri professional, tenaga kerja terdidik, lalu masalah pengembangan penerapan teknologi tepat guna, maupun pola-pola pemberian kredit bank.
Selain itu, Depnakertrans juga mencoba “menyentil” instansi lain untuk peduli terhadap masalah pengangguran, supaya juga bisa membuat tolak ukur, membuat gambaran: berapa sektor kerja dan tenaga kerja yang riil ada. Seperti pertanian, dimana diharapkan mampu menyerap tenaga kerja lebih banyak. Data-data menunjukkan, sampai dengan 40 persen, sektor pertanian menyerap tenaga kerja. Kemudian diikuti sektor kelautan. Untuk itu, departemen pertanian dan kelautan misalnya, harusnya mampu memperluas kesempatan pekerjaan di sektor mereka sendiri.
Tapi Depnakertrans mengaku, anggaran yang dimiliki sangat terbatas untuk mendorong kesempatan kerja. Untuk 2002 saja, Depnakertrans hanya mempunyai dana 40-41 milyar rupiah dan dibagikan ke seluruh Indonesia. Programnya mencakup pelatihan dan upaya-upaya pendorongan ke wira-usaha. Idealnya untuk penanggulangan penganggur ini, Depnakertrans diberikan dana sekitar 1 trilyun rupiah agar sampai tenaga kerja sarjana bisa di tampung dan fokuskan pada pengembangan desa. Karena desa memerlukan ahli, motivator, perencana, dinamisator masyarakat desa.
Sampai sekarang Depnakertrans juga belum mempunyai peta potensi wilayah dan pengangguran sampai ke daerah terkecil, seperti kelurahan dan desa. Daerah tidak pernah meng-update data yang ada. Bagaimana mungkin Depnaker bisa menjalankan programnya jika basis data saja tidak punya? Sudah pernah di mintakan ke Pemda, seperti data penganggur, dimana, latar-belakangnya dan potensi wilayah yang ada. Tapi tidak pernah ada. Masalahnya, Pemda hanya mengharapkan PAD, tidak pernah memikirkan bagaimana masyarakatnya makmur, sejahtera dan berkembang dan tidak menganggur. Dengan otonomi daerah, pemerintah pusat hanyalah pembuat kebijakan, fasilitator, pendorong dan pemberi wacana-wacana. Praktek dan rill di lapangan, Pemdalah yang mengurusi semuanya.
Selain mempunyai Rencana Tenaga Kerja Nasional 2004-2009, Depnakertrans lewat Direktorat Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri juga mempunyai program dan kegiatan yang diarahkan untuk pencapaian Program Peningkatan Kualitas dan Produktivitas Tenaga Kerja serta Program Perluasan dan Pengembangan Kesempatan Kerja. Kegiatan yang dilaksanakan adalah:
a. Merumuskan pedoman atau petunjuk teknis, mengimplementasikan dan mensosialisasikan kebijakan pembinaan yang bertujuan untuk :
1. Membangun sistem peningkatan kualitas tenaga kerja ;
2. Meningkatkan kualitas pelayanan di Bidang Perluasan Kesempatan Kerja dan Penempatan Kerja ;
3. Meningkatkan kerjasama dengan lembaga-lembaga nasional maupun internasional ;
4. Mendorong peranan masyarakat luas di Bidang Ketenagakerjaan meliputi pelatihan, penempatan dan produktivitas tenaga kerja.
b. Pengembangan Kesempatan Kerja, dalam T.A. 2003 telah dilaksanakan :
1. Perluasan lapangan kerja bagi 120.561 orang meliputi :
- Pendayagunaan tenaga kerja pemuda mandiri profesional, tenaga kerja sarjana dan tenaga kerja mandiri terdidik sebanyak 67.734 orang.
- Terapan teknologi tepat guna 4.855 orang.
- Padat karya produktif 44.317 orang.
- Penciptaan wirausaha baru 2.280 orang.
- Pembinaan dan pendayagunaan anak jalanan dan pedagang asongan 690 orang.
- Pengembangan model perluasan kerja 685 orang.
2. Penempatan Tenaga Kerja AKAD : 21.200 orang.
3. Pelatihan ketrampilan sebanyak 42.951 orang meliputi :
- Pelatihan institusional : 14.800 orang.
- Pelatihan MTU : 20.485 orang.
- Pelatihan Magang : 1.088 orang.
- Pelatihan Teknisi :1.225 orang.
- Pelatihan kewirausahaan : 2.764 orang.
- Pelatihan melalui anggaran DPKK-TKI : 2.589 orang.
4. Pelaksanaan pemagangan ke Jepang sebanyak 4.790 orang
5. Pelatihan untuk angkatan kerja khusus seperti penyandang cacat dan lanjut usia sebanyak 1.276 orang.
6. Pemberian bantuan peralatan kepada 78 lembaga pelatihan BLK/LLK dan 12 pondok pesantren.
7. Pemberian ijin tenaga kerja asing (IKTA) sebanyak 19.898 orang.
Tampaknya, semua perencanaan yang “terkesan” bagus itu, harus benar-benar menjadi perhatian Depnakertrans. Apalagi, jika bicara soal ketenagakerjaan, ada beberapa tugas yang bisa dilakukan direktoratnya: pembinaan yang menyangkut peningkatan kualitas sumber daya manusia, penempatan, hingga SDM bisa bekerja secara produktif. “SDM kita belum mampu bersaing. Untuk itu, kita upayakan agar dengan standar kompetisi, SDM nantinya mampu mengisi lowongan pekerjaan dan bahkan menciptakan lapangan pekerjaan.
Tidak kompetitifnya SDM Indonesia, terbukti pada lomba ketrampilan se-Asia pada dua tahun lalu. Saat itu, Indonesia hanya memperoleh perunggu untuk kompetisi di bidang otomotif, eletronik dan lainnya itu. Apalagi, SDM Indonesia ditempatkan pada posisi 112 dari 117 negara yang diteliti. Belum lagi bicara soal banyaknya tenaga kerja asing yang masuk dan mengisi pekerjaan di Indonesia. Karena tenaga kerja Indonesia belum mampu mengisinya. TKI saja masih dalam posisi menengah.
Soal penanggulangan pengangguran dan perencanaan tenaga kerja nasional seharusnya juga ada di tiap daerah, terkait dengan semangat otonomi daerah. Sejak otonomi daerah, pusat dan daerah terputus. Padahal, pusat hanya pembuat kebijakan, penjabarannya ada di daerah.
Sekitar 2005, di tingkatkan sektor formal. Sehingga pada 2006, sektor informal bisa di persiapkan, dan tahun-tahun berikutnya baru di dorong migrasi tenaga kerja di sektor informal menuju sektor formal. Ini berarti, nasib ketenagakerjaan akan semakin memburuk sampai ada kejelasan pada 2006.
C. Tahun 2004 Pengangguran Berkurang, Tingkat Kemiskinan Kembali ke Sebelum Krisis
Jika perekonomian tumbuh lima persen pada tahun 2004, Indonesia dapat mengurangi tingkat pengangguran dan kemiskinan. Jika berhasil mencapai pertumbuhan ekonomi lima persen tahun 2004 ini, tingkat kemiskinan Indonesia akan kembali ke posisi sebelum krisis.
Pertumbuhan ekonomi tahun 2003 tercatat 4,3 persen. Tahun 2004 ini pertumbuhan ekonomi diperkirakan mencapai 4,8-5,0 persen. Sementara tingkat pengangguran terbuka tahun 2003 tercatat 10 juta orang.
Tingkat kemiskinan sudah lebih baik daripada waktu krisis. Sekadar dengan mengerem investasi dan mempergunakan subsidi langsung, tingkat kemiskinan di Indonesia sebetulnya sekarang sudah kembali ke waktu kita mau masuk krisis, tahun 1996. Untuk tingkat pengangguran, semoga tahun ini kita dapat menunjukkan apa artinya (pertumbuhan ekonomi) naik dari empat persen ke lima persen.
Untuk mencapai pertumbuhan lima persen, perekonomian Indonesia tidak bisa hanya mengandalkan konsumsi dan pasar dalam negeri, tetapi harus memanfaatkan ekspor, pasar luar negeri.
Selanjutnya, jika ingin kembali ke tingkat pertumbuhan ekonomi enam persen, investasi harus digalakkan. Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi tujuh persen, perekonomian Indonesia harus menggalakkan ekspor dan investasi.
Sekarang, investasi yang di lakukan baru investasi prasarana, seperti proyek sejuta rumah, proyek 700 km jalan tol, pembangunan pembangkit tenaga listrik yang baru, pembangunan sistem irigasi, dan proyek banjir kanal timur di Jakarta.
Tahun 2004 pemerintah menggerakkan ekspor agar pada tahun 2005 ekspor mulai meningkat dan investor akan merasa lebih pasti lagi dalam menanamkan modalnya. Diharapkan, penanaman modal bergeser dari sekadar pembelian reksa dana, obligasi korporasi, dan surat utang negara menuju penggunaan dana untuk penanaman modal langsung.
Untuk tahun 2004, ekspor nonmigas ditargetkan tumbuh mencapai tujuh persen dari tahun sebelumnya. Hal itu dapat dicapai melalui penetrasi pasar dan penguatan daya saing. Salah satu unsur penguatan daya saing adalah pemberian fasilitas perpajakan. Tax holiday sama sekali tidak termasuk fasilitas perpajakan yang dimaksud.
Tidak adil jika penanaman modal asing (PMA) langsung hanya diukur dari perizinan yang diberikan BKPM. Alasannya, yang masuk ke BKPM adalah persetujuan untuk perusahaan yang meminta fasilitas. Banyak investasi yang juga sudah masuk ke Indonesia, tetapi tidak membutuhkan fasilitas. Dalam kenyataannya, apa lagi fasilitas yang bisa kita tawarkan kepada mereka Tidak banyak. Oleh karena itu, sudah disiapkan angka-angka yang benar-benar dapat dipercaya dan mewakili jumlah PMA langsung yang masuk ke Indonesia.
BAB III
P E M B A H A S A N
A. Penanggulangan Pengangguran di Indonesia
Masalah ketenagakerjaan di Indonesia sekarang ini sudah mencapai kondisi yang cukup memprihatinkan ditandai dengan jumlah penganggur dan setengah penganggur yang besar, pendapatan yang relatif rendah dan kurang merata. Sebaliknya pengangguran dan setengah pengangguran yang tinggi merupakan pemborosan pemborosan sumber daya dan potensi yang ada, menjadi beban keluarga dan masyarakat, sumber utama kemiskinan, dapat mendorong peningkatan keresahan sosial dan kriminal, dan dapat menghambat pembangunan dalam jangka panjang.
Kondisi pengangguran dan setengah pengangguran yang tinggi merupakan pemborosan sumber daya dan potensi yang ada, menjadi beban keluarga dan masyarakat, sumber utama kemiskinan, dapat mendorong peningkatan keresahan sosial dan kriminal; dan dapat menghambat pembangunan dalam jangka panjang.
Pembangunan bangsa Indonesia kedepan sangat tergantung pada kualitas sumber daya manusia Indonesia yang sehat fisik dan mental serta mempunyai ketrampilan dan keahlian kerja, sehingga mampu membangun keluarga yang bersangkutan untuk mempunyai pekerjaan dan penghasilan yang tetap dan layak, sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup, kesehatan dan pendidikan anggota keluarganya.
Dalam pembangunan Nasional, kebijakan ekonomi makro yang bertumpu pada sinkronisasi kebijakan fiskal dan moneter harus mengarah pada penciptaan dan perluasan kesempatan kerja. Untuk menumbuh kembangkan usaha mikro dan usaha kecil yang mandiri perlu keberpihakan kebijakan termasuk akses, pendamping, pendanaan usaha kecil dan tingkat suku bunga kecil yang mendukung.
Kebijakan Pemerintah Pusat dengan kebijakan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota harus merupakan satu kesatuan yang saling mendukung untuk penciptaan dan perluasan kesempatan kerja.
B. Gerakan Nasional Penanggulangan Pengangguran (GNPP).
Mengingat 70 persen penganggur didominasi oleh kaum muda, maka diperlukan penanganan khusus secara terpadu program aksi penciptaan dan perluasan kesempatan kerja khusus bagi kaum muda oleh semua pihak.
Berdasarkan kondisi diatas perlu dilakukan Gerakan Nasional Penanggulangan Pengangguran (GNPP) dengan mengerahkan semua unsur-unsur dan potensi di tingkat nasional dan daerah untuk menyusun kebijakan dan strategi serta melaksanakan program penanggulangan pengangguran. Salah satu tolok ukur kebijakan nasional dan regional haruslah keberhasilan dalam perluasan kesempatan kerja atau penurunan pengangguran dan setengah pengangguran.
Gerakan tersebut dicanangkan dalam satu Deklarasi GNPP yang diadakan di Jakarta 29 Juni 2004. Lima orang tokoh dari pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, perwakilan pengusaha, perwakilan perguruan tinggi, menandatangani deklarasi tersebut, merekaadalah Gubernur Riau H.M. Rusli Zainal; Walikota Pangkal Pinang Provinsi Kepulauan Bangka Belitung H. Zulkarnaen Karim; Palgunadi; T. Setyawan,ABAC; pengusaha; DR. J.P. Sitanggang, UPN Veteran Jakarta; Bambang Ismawan, Bina Swadaya, LSM; mereka adalah sebagian kecil dari para tokoh yang memandang masalah ketenagakerjaan di Indonesia harus segera ditanggulangi oleh segenap komponen bangsa.
Menurut para deklarator tersebut, bahwa GNPP ini dimaksudkan untuk membangun kepekaan dan kepedulian seluruh aparatur dari pusat ke daerah, serta masyarakat seluruhnya untuk berupaya mengatasi pengangguran.
Dalam deklarasi itu ditegaskan, bahwa untuk itu, sesuai dengan Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sebaiknya segera dibentuk Badan Koordinasi Perluasan Kesempatan Kerja.
Kesadaran dan dukungan sebagaimana diwujudkan dalam kesepakatan GNPP tersebut, menunjukan suatu kepedulian dari segenap komponen bangsa terhadap masalah ketenagakerjaan, utamanya upaya penanggulangan pengangguran. Menyadari bahwa upaya penciptaan kesempatan kerja itu bukan semata fungsi dan tanggung jawab Depatemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, akan tetapi merupakan tanggung jawab kita semua, pihak pemerintah baik pusat maupun daerah, dunia usaha, maupun dunia pendidikan. Oleh karena itu, dalam penyusunan kebijakan dan program masing-masing pihak, baik pemerintah maupun swasta harus dikaitkan dengan penciptaan kesempatan kerja yang seluas-luasnya.
Konsepsi.
Sementara itu dalam Raker dengan Komisi VII DPR-RI 11 Pebruari 2004 yang lalu, Menakertrans Jacob Nuwa Wea dalam penjelasannya juga berkesempatan memaparkan konsepsi penanggulangan pengangguran di Indonesia, meliputi keadaan pengangguran dan setengah pengangguran; keadaan angkatan kerja; dan keadaan kesempatan kerja; serta sasaran yang akan dicapai. Dalam konteks ini kiranya paparan tersebut masih relevan untuk diinformasikan.
Dalam salah satu bagian paparannya Menteri menyebutkan, bahwa pembukaan UUD 1945 mengamanatkan: "... untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa ...". Selanjutnya secara lebih konkrit pada Pasal 27 ayat (2) menyatakan bahwa : " tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan " dan pada Pasal 28 D ayat (2) menyatakan bahwa:" Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja". Hal ini berarti, bahwa secara konstitusional, pemerintah berkewajiban untuk menyediakan pekerjaan dalam jumlah yang cukup, produktif dan remuneratif. Kedua Pasal UUD 1945 ini perlu menjadi perhatian bahwa upaya-upaya penanganan pengangguran yang telah dilaksanakan selama ini masih belum memenuhi harapan, serta mendorong segera dapat dirumuskan Konsepsi Penanggulangan Pengangguran.
Selanjutnya Menakertrans menyatakan, Depnakertrans dengan mengikut sertakan pihak-pihak terkait sedang menyusun konsepsi penanggulangan pengangguran. Dalam proses penyusunan ini telah dilakukan beberapa kali pembahasan di lingkungan Depnakertrans sendiri, dengan Tripartit secara terbatas (Apindo dan beberapa Serikat Pekerja); dan juga pembahasan dengan beberapa Departemen dan Bappenas. " Memperhatikan kompleksnya permasalahan pengangguran, disadari bahwa penyusunan konsepsi tersebut masih perlu didiskusikan dan dikembangkan lebih lanjut dengan berbagai pihak yang lebih luas, antara lain sangat dibutuhkan masukan dan dukungan sepenuhnya dari Anggotra DPR-RI yang terhormat khususnya Komisi VII; masih memerlukan waktu dan dukungan biaya sehingga pada akhirnya dapat dirumuskan suatu Konsepsi Penanggulangan Pengangguran di Indonesia yang didukung oleh seluruh komponen masyarakat", tutur Menteri Jacob Nuwa Wea.
C. Solusi Masalah Pengangguran di Indonesia
Sekitar 10 juta penganggur terbuka (open unemployed) dan 31 juta setengah penggangur (underemployed) bukanlah persoalan kecil yang harus dihadapi oleh bangsa Indonesia dewasa ini dan ke depan. Sepuluh juta penganggur terbuka berarti sekitar separo dari penduduk Malaysia.
Penganggur itu berpotensi menimbulkan kerawanan berbagai kriminal dan gejolak sosial, politik dan kemiskinan. Selain itu, pengangguran juga merupakan pemborosan yang luar biasa. Setiap orang harus mengkonsumsi beras, gula, minyak, pakaian, energi listrik, sepatu, jasa dan sebagainya setiap hari, tapi mereka tidak mempunyai penghasilan. Bisa kita bayangkan berapa ton beras dan kebutuhan lainnya harus disubsidi setiap harinya.
Bekerja berarti memiliki produksi. Seberapa pun produksi yang dihasilkan tetap lebih baik dibandingkan jika tidak memiliki produksi sama sekali. Karena itu, apa pun alasan dan bagaimanapun kondisi Indonesia saat ini masalah pengangguran harus dapat diatasi dengan berbagai upaya.
Sering berbagai pihak menyatakan persoalan pengangguran itu adalah persoalan muara. Berbicara mengenai pengangguran banyak aspek dan teori disiplin ilmu terkait. Yang jelas pengangguran hanya dapat ditanggulangi secara konsepsional, komprehensif, integral baik terhadap persoalan hulu maupun muara. Sebagai solusi pengangguran, berbagai strategi dan kebijakan dapat ditempuh sebagai berikut.
Setiap penganggur diupayakan memiliki pekerjaan yang banyak bagi kemanusiaan artinya produktif dan remuneratif sesuai Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945 dengan partisipasi semua masyarakat Indonesia. Lebih tegas lagi jadikan penanggulangan pengangguran menjadi komitmen nasional.
Untuk itu diperlukan dua kebijakan, yaitu kebijakan makro dan mikro (khusus). Kebijakan makro (umum) yang berkaitan erat dengan pengangguran, antara lain kebijakan makro ekonomi seperti moneter berupa uang beredar, tingkat suku bunga, inflasi dan nilai tukar yang melibatkan Bank Indonesia (Bank Sentral), fiskal (Departemen Keuangan) dan lainnya. Dalam keputusan rapat-rapat kebinet, hal-hal itu harus jelas keputusannya dengan fokus pada penanggulangan pengangguran. Jadi setiap lembaga pemerintah yang terkait dengan pengangguran harus ada komitmen dalam keputusannya dan pelaksanaannya.
Kebijakan Mikro
Selain itu, ada juga kebijakan mikro (khusus). Kebijakan itu dapat dijabarkan dalam beberapa poin. Pertama, pengembangan mindset dan wawasan penganggur, berangkat dari kesadaran bahwa setiap manusia sesungguhnya memilki potensi dalam dirinya namun sering tidak menyadari dan mengembangkan secara optimal. Dengan demikian, diharapkan setiap pribadi sanggup mengaktualisasikan potensi terbaiknya dan dapat menciptakan kehidupan yang lebih baik, bernilai dan berkualitas bagi dirinya sendiri maupun masyarakat luas.
Kepribadian yang matang, dinamis dan kreatif memiliki tujuan dan visi yang jauh ke depan, berani mengambil tantangan serta mempunyai mindset yang benar. Itu merupakan tuntutan utama dan mendasar di era globalisasi dan informasi yang sangat kompetitif dewasa ini dan di masa-masa mendatang.
Perlu diyakini oleh setiap orang, kesuksesan yang hakiki berawal dari sikap mental kita untuk berani berpikir dan bertindak secara nyata, tulus, jujur matang, sepenuh hati, profesional dan bertanggung jawab. Kebijakan ini dapat diimplementasikan menjadi gerakan nasional melalui kerja sama dengan lembaga pelatihan yang kompeten untuk itu
Kedua, segera melakukan pengembangan kawasan-kawasan, khususnya yang tertinggal dan terpencil sebagai prioritas dengan membangun fasilitas transportasi dan komunikasi. Ini akan membuka lapangan kerja bagi para penganggur di berbagai jenis maupun tingkatan. Harapan akan berkembangnya potensi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) baik potensi sumber daya alam, sumber daya manusia maupun keuangan (finansial).
Ketiga, segera membangun lembaga sosial yang dapat menjamin kehidupan penganggur. Hal itu dapat dilakukan serentak dengan pendirian Badan Jaminan Sosial Nasional dengan embrio mengubah PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PT Jamsostek) menjadi Badan Jaminan Sosial Nasional yang terdiri dari berbagai devisi menurut sasarannya. Dengan membangun lembaga itu, setiap penganggur di Indonesia akan tercatat dengan baik dan mendapat perhatian khusus. Secara teknis dan rinci, keberadaaan lembaga itu dapat disusun dengan baik.
Keempat, segera menyederhanakan perizinan karena dewasa ini terlalu banyak jenis perizinan yang menghambat investasi baik Penanamaan Modal Asing (PMA), Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan investasi masyarakat secara perorangan maupun berkelompok. Itu semua perlu segera dibahas dan disederhanakan sehingga merangsang pertumbuhan investasi untuk menciptakan lapangan kerja baru.
Kelima, mengaitkan secara erat (sinergi) masalah pengangguran dengan masalah di wilayah perkotaan lainnya, seperti sampah, pengendalian banjir, dan lingkungan yang tidak sehat. Sampah, misalnya, terdiri dari bahan organik yang dapat dijadikan kompos dan bahan non-organik yang dapat didaur ulang.
Sampah sebagai bahan baku pupuk organik dapat diolah untuk menciptakan lapangan kerja dan pupuk organik itu dapat didistribusikan ke wilayah-wilayah tandus yang berdekatan untuk meningkatkan produksi lahan. Semuanya mempunyai nilai ekonomis tinggi dan akan menciptakan lapangan kerja.
Keenam, mengembangkan suatu lembaga antarkerja secara profesional. Lembaga itu dapat disebutkan sebagai job center dan dibangun dan dikembangkan secara profesional sehingga dapat membimbing dan menyalurkan para pencari kerja. Pengembangan lembaga itu mencakup, antara lain sumber daya manusianya (brainware), perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software), manajemen dan keuangan. Lembaga itu dapat di bawah lembaga jaminan sosial penganggur atau bekerja sama tergantung kondisinya.
Ketujuh, menyeleksi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang akan dikirim ke luar negeri. Perlu seleksi lebih ketat terhadap pengiriman TKI ke luar negeri. Sebaiknya diupayakan tenaga-tenaga terampil (skilled). Hal itu dapat dilakukan dan diprakarsai oleh Pemerintah Pusat dan Daerah.
Bagi pemerintah Daerah yang memiliki lahan cukup, gedung, perbankan, keuangan dan aset lainnya yang memadai dapat membangun Badan Usaha Milik Daerah Pengerahan Jasa Tenaga Kerja Indonesia ke luar negeri (BUMD-PJTKI). Tentunya badan itu diperlengkapi dengan lembaga pelatihan (Training Center) yang kompeten untuk jenis-jenis keterampilan tertentu yang sangat banyak peluang di negara lain. Di samping itu, perlu dibuat peraturan tersendiri tentang pengiriman TKI ke luar negeri seperti di Filipina.
Kedelapan, segera harus disempurnakan kurikulum dan sistem pendidikan nasional (Sisdiknas). Sistem pendidikan dan kurikulum sangat menentukan kualitas pendidikan. Karena itu, Sisdiknas perlu reorientasi supaya dapat mencapai tujuan pendidikan secara optimal.
Kesembilan, upayakan untuk mencegah perselisihan hubungan industrial (PHI) dan pemutusan hubungan kerja (PHK). PHI dewasa ini sangat banyak berperan terhadap penutupan perusahaan, penurunan produktivitas, penurunan permintaan produksi industri tertentu dan seterusnya. Akibatnya, bukan hanya tidak mampu menciptakan lapangan kerja baru, justru sebaliknya bermuara pada PHK yang berarti menambah jumlah penganggur.
Pihak-pihak yang terlibat sangat banyak dan kompleks sehingga hal itu perlu dicegah dengan berbagai cara terutama penyempurnaan berbagai kebijakan.
Kesepuluh, segera mengembangkan potensi kelautan kita. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mempunyai letak geografis yang strategis yang sebagian besar berupa lautan dan pulau-pulau yang sangat potensial sebagai negara maritim. Potensi kelautan Indonesia perlu dikelola lebih baik supaya dapat menciptakan lapangan kerja yang produktif dan remuneratif.
Hal-hal yang paling sedikit yang dapat dikembangkan untuk menciptakan lapangan kerja bagi para penggemar sesuai pendidikannya, keterampilannya, umurnya penganggur terbuka atau setengah penganggur, atau orang yang baru masuk ke pasar kerja, dan sebagainya.
Diharapkan ke depan kebijakan ketenagakerjaan dapat diubah (reorientasi) kembali agar dapat berfungsi secara optimal untuk memerangi pengangguran.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengangguran terjadi disebabkan antara lain, yaitu karena jumlah lapangan kerja yang tersedia lebih kecil dari jumlah pencari kerja. Juga kompetensi pencari kerja tidak sesuai dengan pasar kerja. Selain itu juga kurang efektifnya informasi pasar kerja bagi para pencari kerja.
Setiap penganggur diupayakan memiliki pekerjaan yang banyak bagi kemanusiaan artinya produktif dan remuneratif sesuai Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945 dengan partisipasi semua masyarakat Indonesia. Lebih tegas lagi jadikan penanggulangan pengangguran menjadi komitmen nasional.
Untuk itu diperlukan dua kebijakan, yaitu kebijakan makro dan mikro (khusus). Kebijakan makro (umum) yang berkaitan erat dengan pengangguran, antara lain kebijakan makro ekonomi seperti moneter berupa uang beredar, tingkat suku bunga, inflasi dan nilai tukar yang melibatkan Bank Indonesia (Bank Sentral), fiskal (Departemen Keuangan) dan lainnya. Dalam keputusan rapat-rapat kebinet, hal-hal itu harus jelas keputusannya dengan fokus pada penanggulangan pengangguran. Jadi setiap lembaga pemerintah yang terkait dengan pengangguran harus ada komitmen dalam keputusannya dan pelaksanaannya.
Selain itu, ada juga kebijakan mikro (khusus). Kebijakan itu dapat dijabarkan dalam beberapa poin. Pertama, pengembangan mindset dan wawasan penganggur, berangkat dari kesadaran bahwa setiap manusia sesungguhnya memilki potensi dalam dirinya namun sering tidak menyadari dan mengembangkan secara optimal.
Kedua, segera melakukan pengembangan kawasan-kawasan, khususnya yang tertinggal dan terpencil sebagai prioritas dengan membangun fasilitas transportasi dan komunikasi. Ketiga, segera membangun lembaga sosial yang dapat menjamin kehidupan penganggur.
Keempat, segera menyederhanakan perizinan karena dewasa ini terlalu banyak jenis perizinan yang menghambat investasi baik Penanamaan Modal Asing (PMA), Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan investasi masyarakat secara perorangan maupun berkelompok. Kelima, mengaitkan secara erat (sinergi) masalah pengangguran dengan masalah di wilayah perkotaan lainnya, seperti sampah, pengendalian banjir, dan lingkungan yang tidak sehat.
Keenam, mengembangkan suatu lembaga antarkerja secara profesional. Ketujuh, menyeleksi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang akan dikirim ke luar negeri. Kedelapan, segera harus disempurnakan kurikulum dan sistem pendidikan nasional (Sisdiknas). Kesembilan, upayakan untuk mencegah perselisihan hubungan industrial (PHI) dan pemutusan hubungan kerja (PHK). Kesepuluh, segera mengembangkan potensi kelautan kita. Diharapkan ke depan kebijakan ketenagakerjaan dapat diubah (reorientasi) kembali agar dapat berfungsi secara optimal untuk memerangi pengangguran.
B. Kritik dan saran
Demikianlah makalah ini, semoga dapat bermanfaat bagi kita bersama. Ibarat ”tak ada gading yang tak retak”, tentunya makalah ini jauh dari kesempurnaan maka dari itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikan makalah selanjutnya. Terimakasih.
DAFTAR PUSTAKA
--------------. Tahun 2004 Pengangguran Berkurang, Tingkat Kemiskinan Kembali ke Sebelum Krisis. Kompas. Jakarta
Daulat Sinuraya. Solusi Masalah Pengangguran di Indonesia. Suara Pembaruan Daily. 2004
Deklarasi Penanggulangan Pengangguran di Indonesia, 29 Juni 2004; Bahan Raker Komisi VII DPR-RI dan Menakertrans, 11 Pebruari 2004.
Elwin Tobing. Pengangguran Tenaga Kerja Terdidik. Media Indonesia. 2004
Levi Silalahi . Masalah Buruh-Pengusaha Belum Terpecahkan, Pengangguran Terus Bertambah. Depnakertrans. 2004
Majalah Nakertrans Edisi - 03 TH.XXIV-Juni 2004
Muchamad Nafi. Tiap Tahun, Angka Pengangguran Indonesia Naik.Tempo Interaktif. Jakarta. 2004
Statistik Tahunan Indonesia, 1985, 1995, 1998
Tidak ada komentar:
Posting Komentar